Muhasabah Diri Dai Hidayatullah Maluku Utara “Hamba yang Dititipi”
Di sudut-sudut heningnya malam Maluku Utara, para dai Hidayatullah berkumpul dalam muhasabah diri. Mereka sadar datang bukan sebagai pahlawan, bukan pula sebagai penguasa. Mereka hanya datang sebagai hamba-hamba yang dititipi amanah oleh Rabb-nya untuk menjaga, membina, dan menyentuh hati umat dengan kasih sayang dan dakwah.
Menjadi dai bukan tentang merasa paling tahu, paling bisa, atau paling berhak. Daerah yang mereka datangi bukanlah milik mereka. Masyarakat yang mereka bina bukanlah milik mereka. Semua adalah milik Allah. Dan dai hanyalah penjaga titipan. Maka tak layak ada rasa memiliki yang sombong, apalagi merasa lebih dari yang lain.
Seorang dai sejati memandang umatnya dengan mata hati kasih sayang, bukan dengan penilaian duniawi. Ketika turun ke lapangan masyarakat, mereka mendengar langsung keluh kesah masyarakat yang tak terlihat. Seperti keluhan dari seorang mualaf, “Ramadhan kemarin saya tak dapat zakat, karena pilihan politik saya berbeda…” Sebuah kalimat sederhana, tapi cukup untuk mengguncang hati siapa pun yang masih punya nurani.
Karena perbedaan pilihan telah menjauhkan manusia dari masjid, bahkan dari saudara seiman. Masjid yang dulu ramai, kini shaf-shaf mulai sepi dan renggang oleh rasa kecewa dan luka sosial. Ini bukan sekadar persoalan dunia. Ini adalah tanda bahwa tugas para dai jauh lebih besar dari yang dibayangkan.
Masih banyak masyarakat di pedalaman yang belum bisa membaca Al-Qur’an. Masih banyak hati yang belum mengenal cinta Allah. Dan di sinilah tugas mulia seorang dai harus kembali disadari: membina, bukan menghakimi. Menyentuh, bukan menekan. Menyatu, bukan merasa paling tinggi.
Malam pun larut. Setelah muhasabah, para dai berdiri dalam sholat malam. Tidak ramai, tidak riuh. Tapi di sepertiga malam itulah ruh mereka menguat. Dalam sujudnya, mereka memohon agar langkah dakwah ini tetap lurus. Agar hati mereka tetap lembut. Karena bagi mereka, tanpa sholat malam, ruh dakwah terasa hampa. Ada kekuatan yang hilang. Ada cahaya yang padam.
Sholat malam bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan. Tempat kembali. Tempat menguatkan niat. Tempat meminta petunjuk atas segala kebingungan yang ditemui di lapangan dakwah.
Dari muhasabah ini, para dai pulang membawa kesadaran. Bahwa mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya penjaga titipan. Dan tugas mereka adalah menjaga, merawat, dan menyampaikan cinta Allah dengan kelembutan.
Semoga Allah kuatkan langkah para dai, dan semoga umat kembali disatukan dalam naungan iman dan kasih sayang.